“Ainun dan saya bernaung di bawah cinta milik-Mu ini dipatri menjadi MANUNGGAL sepanjang masa. Hanya dengan tatapan mata saja tanpa berbicara sering dapat berkomunikasi langsung dan mengerti isi hati dan kehendak kami.”
Posting kali ini saya akan coba me-review buku yang baru saja saya baca. Semoga njenengan tidak
kecewa dengan tulisan saya ini, maklum baru belajar membuat resensi
buku. Kritik dan saran atau pandangan lain terhadap buku ini akan sangat
saya harapakan.
Kemanunggalan jiwa yang dipatri oleh
cinta yang murni, sempurna, dan abadi. Itulah salah satu pesan dari buku
berjudul “Habibie dan Ainun” yang akan selalu terngiang-ngiang di benak
kita setelah membacanya. Membaca buku yang ditulis langsung oleh Bapak
B.J.Habibie ini seolah kita diajak mengarungi catatan harian cinta
seorang Bacharudin Jusuf Habibie dengan Hasri Ainun binti Besari,
kekasih abadinya sepanjang masa.
Adalah tepat kiranya bagi Pak Habibie
menulis buku ini dengan tujuan salah satunya untuk terapi mengobati
kerinduan dan kehilangan istri tercintanya, Ibu Ainun Habibie. Terapi
kerinduan dari kehilangan seseorang yang selama 48 tahun 10 hari
mendampingi hidup putra Pare-pare ini. Goresan kenangan tentang cinta
tulus dan bakti Ibu Ainun inilah yang sanggup mengisi kekosongan jiwa
Pak Habibie saat masa awal beliau merasa kehilangan.
Kisah cinta Ainun dan Habibie berawal
dari pertemuan di Rangga Malela 11B, rumah kediaman keluarga
Besari–keluarga besar Ainun–tinggal. Habibie, seorang insinyur yang baru
pulang dari Jerman bertemu kembali dengan Ainun, kawan SMA-nya, seorang
dokter lulusan FK UI setelah 7 tahun tak pernah jumpa. Perjumpaan
secara tidak sengaja itu membawa Habibie muda terlarut dalam kerinduan
pandangan mata indah Ainun yang akan selalu dikenangnya. Pandangan mata
pada 7 Maret 1962 yang akan menjadi saksi cinta abadi sepasang insan
manusia.
Kedua insan yang dipertemukan oleh cinta
dari Allah itupun kemudian menikah. Alur kisah pun bergulir tentang
cinta dan pengabdian seorang Ainun kepada suaminya. Cinta dan pengabdian
Ainun adalah manifestasi ke-MANUNGGGAL-an jiwa, hati, dan batin Ainun
dan Habibie. Dengan cinta dan pengabdian itulah yang membuatnya tetap
setia mendampingi Habibie. Kesetiaan yang tetap dijaga Ainun walaupun
saat menjadi seorang istri seorang asisten peneliti, pejabat teras
perusahaan Jerman MBB, bahkan ketika menjadi Ibu Negara sekalipun. Cinta
Ainun kepada Habibie tetap sama tulus tak berubah sepanjang waktu.
Cintanya dari hati dan jiwa yang manunggal, yang memberi ketenangan
kepada Habibie untuk terus menjaga idealismenya membangun negeri
pertiwi. Cintanya tetap hidup walau Ainun dan Habibie terpisah dua dunia
yang berbeda.
Cukup banyak kita temukan kisah cinta Pak
Habibie dan Ibu Ainun di dalam buku ini yang mungkin belum pernah kita
ketahui sebelumnya. Buku ini menarik untuk dibaca bagi siapa saja yang
ingin mengetahui atau memahami kehidupan seorang insinyur hebat bernama
BJ Habibie dari sudut pandang yang berbeda. Selain itu, di dalamnya juga
banyak di dominasi oleh kisah kesetiaan Ibu Ainun sebagai seorang istri
hingga akhir hayat dari sudut pandang suaminya. Pembaca juga tak hanya
dapat menikmati kisah cinta kedua pasangan abadi itu saja, di buku ini
juga terselip beberapa puisi dan doa seorang Habibie kepada istrinya.
Keseluruhan kisah di dalam buku setebal
335 halaman ini menurut penulisnya sengaja disajikan mirip novel agar
enak dibaca oleh pembacanya. Walaupun demikian, dari awal hingga akhir
membacanya saya merasa masih belum bisa menikmati buku ini layaknya
kisah sebuah novel. Entah kenapa, saya masih merasa karya Pak Habibie
ini lebih pantas saya apresiasikan sebagai sebuah biografi ketimbang
novel. Jalan cerita yang terlalu datar dan minimnya metafora,yang
menurut saya adalah bumbu rahasia setiap novel, membuat saya hampir
bosan membaca hingga di tengah buku. Tidak hanya bosan, kadang saat
membaca buku ini saya merasa kurang nyaman manakala ada beberapa kata
yang salah edit dan beberapa cerita terkesan diulang-ulang dalam
beberapa bab.
Pada awalnya, saya sangat penasaran
dengan isi buku ini. Di kota Jogja sendiri saya hampir saja kehabisan
buku ini karena ludes terjual hingga bulan Desember 2010 lalu. Siapapun
akan mengira, buku ini akan mengisahkan untold story kehidupan
pasangan Prof. Habibie dan dr. Ainun. Siapapun juga pasti pernah
mengetahui kesetiaan seorang Habibie untuk terus menunggui makam
almarhumah istrinya selama 40 hari yang sempat menjadi topik hangat
media beberapa waktu lalu. Mungkin inilah yang menurut saya menjadi
salah satu pemicu larisnya buku ini di pasaran. Namun saya agak sedikit
kecewa setelah membaca keseluruhan kisah di buku ini. Harapan saya untuk
mendapatkan kisah kemanunggalan cinta Habibie dan Ainun kurang
terobati. Menurut saya, rasanya kebanyakan cerita nyata buku ini lebih
mengekspos kehidupan Pak Habibie sendiri dengan bumbu kisah cinta dan
pengabdian Ibu Ainun. Gregetnya baru terasa saat detik-detik wafatnya
Ibu Ainun. Di bagian akhir buku itulah baru saya rasakan cinta dan
sayang Habibie dan Ainun yang membuncah. Cinta yang tumpah-ruah dan
sanggup menumpahkan air mata haru.
Terlepas dari beberapa kekurangan di
atas, buku ini setidaknya layak mendapat apresiasi lebih dari seluruh
penikmat buku, apalagi dari pengagum sosok Habibie karena iktikad baik
beliau untuk membagi kisah cinta pribadinya kepada khalayak umum. Saya
rasa pembaca juga patut untuk mengapresiasi keberanian beliau untuk
menuangkan kisahnya dalam bentuk novel. Suatu peristiwa yang mungkin
agak langka bagi seorang profesor engineering sekelas Habibie.
Dibalik itu semua buku ini memberikan ilham dan keteladanan bagi para
pencari resep spiritual bagi bangunan rumah tangga sakinah. Itulah inti
dari pesan dan keteladanan berharga yang dapat kita serap dari buku ini.
Selamat membaca!