“Untuk apa penghargaan kalau cuma bikin malu keluarga?”
Demikian
dialog yang diungkapkan Bapak pada Zahrana, tepatnya Ir. Dewi Zahrana,
M.Sc. Kepulangan Zahrana ke rumah setelah mendapat penghargaan dari
luar negeri sepantasnya disambut bahagia oleh Bapak-Ibunya. Sayang,
Bapak hanya menyambut dingin kepulangan Rana, seorang gadis pintar yang
berprofesi sebagai dosen. Memiliki anak gadis sekaligus anak
satu-satunya, tentu saja harapan Bapak, begitu juga dengan Ibu, adalah
memiliki anak yang pintar, sukses, dan juga: menikah. Hal terakhir
inilah yang lebih diharapkan Bapak. Tak ada hal yang lebih membanggakan
bagi Bapak selain melihat Rana menikah sebelum ajal menjemput.
Seperti
lebaran di tahun-tahun sebelumnya, libur lebaran saya pasti diisi
dengan silaturahmi ke bioskop. Memang, di tiap lebaran, bioskop selalu
mengeluarkan film-film bagus. Dan di tahun ini, salah satu film
Indonesia yang berkualitas adalah Cinta Suci Zahrana.
Seperti
novel-novel mahakarya Kang Abik sebelumnya, seperti Ayat-Ayat Cinta,
KCB 1 dan 2, Dalam Mihrab Cinta yang akhirnya menjadi sebuah film
laris, novel Kang Abik berikutnya yang berjudul Cinta Suci Zahrana juga
kembali di-film-kan. Bila bicara sebuah novel yang akhirnya menjadi
film, pertanyaan masyarakat, khususnya para pembaca: apa film nya akan
sebagus novelnya?
Alur Cerita
Bila
di film Ayat-Ayat Cinta, pembaca banyak yang kecewa karena alur cerita
yang berbeda dengan novel. Lalu pada KCB, pembaca cukup puas dengan
kualitas film karena alur cerita tidak melenceng dari novel, walau ada
juga yang sedikit kecewa karena film ini ‘bersambung’. Suatu hal yang
menurut saya wajar, mengingat novel KCB pun juga ada dua buku. Saya
memaklumi script writer nya jika mengalami kesulitan
merangkum dua novel tebal ini. Kalau memang ada pertimbangan bisnis,
menurut saya juga masih wajar, jadi isi novel tersebut tidak banyak
yang dibuang. Buktinya pembaca dan penonton jadi penasaran menanti KCB
2.
Lantas
bagaimana dengan Cinta Suci Zahrana? Sama seperti ketika saya menonton
film Dalam Mihrab Cinta, perjalanan film Kang Abik selalu dan semakin
berkualitas. Alur cerita juga sama seperti novel, tidak banyak isi
novel yang terbuang. Mengingat kedua novel ini juga tidak begitu tebal,
jadi tak susah untuk ‘memberi nyawa’ pada setiap cerita yang ada.
Kualitas Akting
Ir.
Dewi Zahrana, M.Sc, yang diperankan oleh Meyda Sefira. Kalau saya tidak
salah, aktingnya dimulai ketika berperan menjadi Husna, adiknya Azzam
dalam film KCB. Lalu menjadi istri Dude Herlino dalam film ‘Dalam
Mihrab Cinta’. Dan sekarang Meyda berperan sebagai Zahrana, tokoh utama
dalam film ini. Pantaskah jika Meyda (masih) dibilang pendatang baru
dalam dunia per-film-an? Apapun sebutannya, bagi saya, peran Meyda
dalam setiap film nya sangat natural, tidak seperti sedang berakting.
Saya tidak tahu apakah keseharian Meyda juga berhijab, namun aura nya
tidak bisa dibohongi kalau dia seorang perempuan muslimah yang anggun
dan cerdas.
Untuk
akting pemain lainnya, saya rasa tak perlu dibahas lagi, mengingat yang
berperan sebagai orang-tua Meyda saja seorang pemain kawakan. Tidak ada
kekakuan antara Meyda ‘Zahrana’ dengan orang-tuanya. Untuk tokoh lain,
ini pertama kalinya saya menonton akting Miller yang berperan sebagai
mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi, lulus, wisuda, jadi
pengusaha, dan akhirnya menikah dengan sang dosen pembimbing.
Dan walau hanya berperan sebagai ‘cameo’ saja,
akting Azzam (ah saya lupa nama aslinya, sepertinya Holidi) sebagai
Rahmad sang penjual kerupuk, juga tak kalah berkarakter. Penghuni
bioskop begitu terpukau ketika pas adegan Rahmad memutar badannya, dan
ketika di-close up wajahnya, banyak yang bergumam, “Azzam…” Aktingnya
juga begitu natural, mengingat Azzam juga memiliki aura ‘cowok
baik-baik’, sangat pas berperan sebagai santrinya Pak Kiai yang
berprofesi sebagai penjual kerupuk.
Pesan Moral
Film
berkualitas memang tak hanya mampu menghibur penonton, namun juga
memberi pesan moral untuk penontonnya. Seperti beberapa karya Kang Abik
yang sudah saya baca dan tonton, memang sebuah fiksi yang tak jauh dari
kehidupan nyata.
Sikap
Bapak yang begitu dingin pada Rana, semua itu akibat dari rasa malu
beliau karena memiliki anak gadis yang belum menikah. Kalimat ketus
yang diungkapkan Bapak, seakan-akan semua itu adalah kebodohan Rana.
Dalam dunia nyata, begitu banyak orang-tua yang bersikap seperti
‘Bapak’. Mereka lupa, bahwa jodoh merupakan hadiah terindah dari Tuhan.
Bila Tuhan belum memberikan hadiah tersebut, lantas siapa yang harus
dipersalahkan?
Dalam
film tersebut juga diceritakan bahwa Rana sulit dapat jodoh karena
sekolahnya yang mencapai S2, menjadi dosen berkualitas, dan mendapat
penghargaan di mana-mana. Inilah yang (katanya) membuat lelaki jadi
minder untuk mendekati Rana. Hal ini lah yang membuat sebagian
perempuan beralasan: jadi cewek nggak usah kelewat pinter, ntar nggak
ada cowok yang mau!
Benarkah
menjadi perempuan cerdas merupakan suatu kesalahan? Di zaman yang penuh
kompetisi seperti sekarang ini, menurut saya, menjadi perempuan cerdas
itu wajib. Ada banyak hal yang membuat perempuan harus cerdas.
Bayangkan bila seorang perempuan, calon Ibu, tidak mengerti apa-apa
tentang kesehatan, gizi apa yang nantinya akan diberikan untuk calon
anak-anak mereka, konsep pendidikan seperti apa yang nantinya akan
diajarkan pada calon anak-anaknya, dan lagi, sejauh mana dia
‘mengenalkan Tuhan’ pada calon anak-anaknya kelak. Inilah alasannya
perempuan harus cerdas, mengetahui banyak hal.
Apakah
pendidikan dan karier perempuan begitu menakutkan bagi lelaki? Saya
rasa dua hal tersebut bukanlah seperti monster yang nantinya akan
menakutkan para lelaki. Ya, seperti prinsip Rana, “Aku hanya memilih
lelaki yang sholeh!” Dalam kehidupan nyata pun, banyak perempuan yang
pendidikan dan karier nya lebih tinggi dari suaminya. Lantas kenapa
perempuan tersebut mau menerima ‘pinangan’ lelaki yang pendidikan dan
kariernya di bawah dia. Ya, kembali lagi seperti alasan yang seakan
Rana ungkapkan: tak ada rumah-tangga yang lebih indah, selain memilih
pemimpin rumah-tangga yang baik dan bertanggung-jawab. Jadi sekalipun
pendidikan suami lebih rendah, bukan lantas dia bodoh. Seperti yang
sahabat Rana katakan, “Suamiku nggak pake sarjana-sarjanaan, tapi dia
pintar dan bertanggung-jawab”. Karier dan penghasilan suami yang lebih
rendah juga tak perlu menjadi bumerang dalam rumah-tangga, seperti yang
Rana katakan, “Untuk masalah rejeki, Insya Allah tak masalah. Kan aku
juga akan terus mengajar.” Ya, bila saling mencintai, saling tolong
menolonglah…
Seperti
yang masyarakat juga sering katakan, “Gimana mau dapet jodoh, kalau
nggak ada usahanya!” Begini juga kira-kira yang Ibu Zahrana katakan,
“Coba kamu minta tolong sama Kiai. Siapa tau beliau punya santri yang
cocok.” Demi membahagiakan hati Bapak dan Ibu, Rana pun datang bersama
sahabat menemui ‘Nyai’ yang merupakan istri Pak Kiai. Setelah berembuk
dengan Pak Kiai, Nyai pun mengusulkan agar Rana mengenal Rahmad,
‘hanya’ seorang tukang kerupuk. Awalnya Rana kecewa (lagi-lagi ekspresi
Meyda di scene ini begitu natural) namun sekali lagi, demi
cepat menikah, Rana pun menyetujui saran Nyai. Penonton jadi tertawa
ketika tukang kerupuk yang pertama merupakan orang yang salah, maaf
kalau saya bilang ‘jelek’. Dan kami begitu terpukau ketika melihat
tukang kerupuk kedua, yaitu Azzam.
Melihat tukang kerupuk yang ganteng, Rana mendadak jatuh cinta. Ditambah lagi dengan feeling
Ibu yang menganggap kalau Rahmad merupakan lelaki baik-baik, apalagi
kandidat yang diusulkan Pak Kiai dan Nyai. Bapak dan Ibu segera
‘melamar’ Rahmad melalui Pak Kiai dan Nyai, sebagai wali Rahmad di
pesantren.
Ya,
seperti sebagian lelaki pada umumnya. Rahmad awalnya juga nggak yakin,
“Apa Bapak dan Ibu sungguh-sungguh? Mengingat saya dan anak Bapak
‘berbeda jauh’? Bapak begitu mantap mengatakan, “Bagi kami yang penting
anak kami menikah dengan lelaki sholeh.” Pernikahan pun segera digelar.
Ketika Calon Jodoh Sudah Ada di Depan Mata
Sebelum
pertemuannya dengan Rahmad, Rana juga sempat dilamar oleh Rektor di
kampusnya. Predikat Pak (aduh saya lupa namanya) sebagai lelaki kaya,
punya lima pom bensin, pemegang saham kampus juga, tapi hobinya tukang
kawin, membuat Rana enggan menerima pinangan tersebut. Walau Bapak dan
Ibu begitu kecewa dengan keputusan Rana yang menolak atasannya, namun
Rana sudah berprinsip, “Calon suamiku harus lelaki baik-baik.” Demikian
juga saran dari sahabat Rana. Dia berusaha tegar ketika Bapak dan Ibu
mengatakan, “Lelaki seperti apa lagi yang kamu inginkan?”
Penonton
kembali tertawa ketika calon kedua datang, yaitu seorang satpam,
kandidat dari tatangganya. Si satpam jaim tidak lolos seleksi oleh Rana
dan juga Bapak, mengingat lelaki itu tak bisa membaca Al-Qur’an. Scene ini benar-benar lucu dan sangat mengibur.
Lalu ada lagi lelaki kaya yang ingin
memberikan mobil pada Rana. Namun karena gaya bicaranya yang membuat
Bapak muak, lelaki itu akhirnya ‘disuruh pulang’. Adegan ini juga mampu
membuat penonton tertawa.
Hingga
pada akhirnya Rana bertemu Rahmad. Sayang, ketika besok pagi akan
menikah, malam sebelumnya Rana mendapat kabar bahwa Rahmad kecelakaan
dan meninggal. Rana begitu terguncang dan pingsan. Bapak jantungnya
jadi kumat, dilarikan ke rumah sakit, dan meninggal. Di malam yang
sama, Rana kehilangan dua orang yang dia cintai.
Karena
jiwanya begitu terguncang, Rana pun dirawat ke rumah sakit, berkenalan
dengan psikiater yang ternyata Ibu dari Hasan (Miller) yang dulunya
merupakan mahasiswa Rana. Kedekatan Rana-Hasan-dan Ibu Hasan, membuat
Hasan jadi mantap melamar Rana, melalui Ibunya. Mungkin ada yang
menganggap, ‘Ah nggak macho, kok bukan Hasan sendiri yang melamar?’ Ya,
kalau yang mengerti etika Islam, pasti nggak akan bilang seperti ini.
Awalnya
Rana sempat nggak yakin, mengingat Hasan merupakan ‘berondong’ atau
usianya lebih muda dari Rana. Dan lagi mengingat Ibu Hasan telah
mengenal Rana, “Apa mungkin Ibu mau menerima saya sebagai menantu?”
Kemantapan hati Ibu Hasan membuat Rana akhirnya berucap, “Aku terima
dengan syarat… Aku ingin menikah ba’da Isya.” (Hal yang sama ketika
Azzam dan Anna menikah, mendadak dan pada saat ba’da Isya).
Habis
sudah penantian Rana akan sebuah jodoh. Ketika dirinya ikhlas untuk
menikah dengan lelaki manapaun (asalkan sholeh) termasuk ketika dirinya
ikhlas menjadi calon istri penjual kerupuk, malah membuat Rana mendapat
jodoh yang sangat ideal: (lebih) muda, pintar, mapan, dan pastinya
agama baik. Saya sempat terkecoh ketika Hasan yang begitu dekat dengan
seorang gadis, yang ternyata gadis itu merupakan adik bungsu ayahnya,
“Harusnya aku manggil dia ‘Bibi’, namun karena aku lebih tua, jadi dia
panggil aku ‘Mas’”.
Film
ini sangat baik untuk ditonton semua kalangan, kecuali kalau ada yang
menganggap bahwa tak ada satupun film Indonesia yang bagus. Bagi para
perempuan, jangan pernah takut untuk sekolah setinggi mungkin,
berkarier, dan berkarya. Jangan pernah hiraukan ungkapan bahwa tidak
ada lelaki yang jatuh cinta dengan perempuan cerdas. Biarkan saja jika
ada sebagian lelaki yang seleranya adalah perempuan bodoh. Toh saya
yakin ada banyak lelaki yang lebih memilih perempuan cerdas dan baik,
mengingat nantinya mereka akan menitipkan anak-anak mereka pada kita,
menitipkan penghasilannya pada kita untuk kebutuhan rumah-tangga, untuk
menjadi sahabat dan penasehat mereka, untuk membantu mereka mencari
nafkah juga. Ya, perempuan cerdas memang banyak gunanya.
Menjadi
perempuan cerdas juga membuat perempuan hati-hati memilih pasangan.
Hati-hati memilih bukan lantas ‘banyak tingkah’. Adanya istilah
‘perawan tua’ sepertinya yang diungkapkan bos Rana karena Rana menolak
pinangannya, membuat banyak perempuan lebih memilih lelaki ‘asal
tangkap’, daripada banyak mikir malah nantinya jadi perawan tua.
Jadilah seperti Rana, tidak banyak kriteria, namun lelaki tersebut
harus dekat dengan agama, malah membuat dirinya mendapat jodoh lebih
dari yang dia minta. Ya, mari kita bijak memilih lelaki. Pernikahan
bukanlah adu balap gelar dan penghasilan. Tak perlu memilih lelaki yang
sekolah dan karier serta penghasilan lebih tinggi. Yang penting baik,
tanggung-jawab, dan pastinya: bukan pengangguran.
Sedangkan
untuk para orang-tua, jangan pernah menghakimi anak gadis yang belum
menikah. Mendoakan jauh lebih baik daripada terus menyalahkan. “Aku
ikhlas berkorban demi Bapak!” “Tapi kamu ndak perlu
mengorbankan hatimu!” Dialog yang cukup membuat nyesss. Ya, jangan
sampai pernikahan didasari karena paksaan dari orang-lain. Menikahnya
karena kita telah memiliki calon suami yang baik, dan kita pun
sama-sama siap berumah-tangga.
Nikah sama berondong, inilah ending
dari film ini. Ya, bagi sebagian orang memang agak aneh jika ada
perempuan yang suaminya lebih muda. Padahal, banyak juga perempuan yang
langgeng dengan suami lebih muda namun dewasa. So, lelaki lebih tua, seumuran, atau lebih muda, yang penting agamanya bagus…
anda bisa mendowload nya disini...
Klik DISINI Yaaaaaa..............
anda bisa mendowload nya disini...
Klik DISINI Yaaaaaa..............
bagus sekali artikel nya....sukses bwt anda
BalasHapusHamam Nasirudin
http://www.formulabisnis.com/?id=obier
informasi formula bisnis seputar bisnis online,usaha online,bisnis praktis,usaha rumahan,mesin uang untuk anda.silakan klik disini dan anda akan tau semuannya.