Senin, 14 Februari 2011

Asma Nadia
---------------

Namanya Makky Matahari Muhammad
dan Cinta menyimpan nama itu dengan baik di kepalanya.
Bukan karena salam yang diucapkan lelaki itu saat pertama bertemu.
Tetapi karena kehadirannya membawa pelangi dalam hidup Cinta.

Belasan tahun menjalani hidup sebagai piatu, Cinta bahkan tidak tahu wajah ibunya.
Ayah dengan sempurna melenyapkan setiap jejak perempuan terkasih itu.
Saat Ayah menikah dengan Mama Alia, dan membawa dua saudara tiri, Cinta semakin tersisih.

Ketika surga terenggut dari hari-hari Cinta, lelaki itu hadir.
Makky Matahari Muhammad yang humoris namun santun itu, mengenalkannya pada dunia lain yang memberi kebahagiaan. Hingga sebuah rahasia besar belasan tahun terbongkar dan Cinta harus menempuh perjalanan jauh yang memisahkannya dari laki-laki itu.

Ketika seluruh harapan menemui jalan buntu, Cinta berjuang.
Mencari kekuatan dalam sujud-sujud panjang.
Menelusuri jejak surga yang dirindukan
hingga tuntas saat senja di Madinah

--------

lebih lengkapnya silahkan download di :
http://linkdownload.pustaka78.com/readUjungSajadah

Rabu, 09 Februari 2011

DI ATAS SAJADAH CINTA

Title : Diatas Sajadah Cinta
Author : Habiburahman El Shirazy

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagaian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa. Diserambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat‐ayat suci Al‐Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang‐orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudznnya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian. Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat‐ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala‐yala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat‐ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur skujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci. Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menagis, “fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa yang itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya….) Hatinya bertanya‐tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali‐kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.
***
Sementara itu, dipinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu‐lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap‐kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari‐nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang meneragi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar…)

***
Gadis itu terus manari‐nari dengan riangnya. Hatinya berbunga‐bunga. Diruangan tengah, kedua orang tuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,”Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik‐baik syair‐syair yang ia dendangkan.” “Ya, itu syair‐syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang dipasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.” “Bagaimana, kau terima atau…?” “Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu, Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu ?”
“Tak perlu ! Kita tak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk
Afirah adalah Yasir.”
“Tapi engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***
Pada saat yang sama, disebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi ileh teman‐temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak lenggokkan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be … benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia‐siakan kesempatan ini, Yasir !”
“Baiklah. Bersenang‐senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari‐nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduannya benar‐benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,
“Apakah And punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan mengaggukkan kepalanya. Keduanya terus menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking‐lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat‐ayat suci Al‐Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaraya yang sakit. Zahid berjalan melewati kebun korma yang luas, saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun korma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup‐sayup telinganya menangkap suara, “Tolong ! Tolong !!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Tolong ! Tolong !!”
Suara itu semakin jelasa terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bias menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Tolong ! Tolong hentikan kudaku ini ! Ia tidak bisa dikendalikan !”
Mendengar hal itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat‐cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan
berkata keras, “Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya.
“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa‐apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan, “Alhamdulillah, tidak apa‐apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.” “Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangan ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona, “Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar habat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat‐cepat menundukkan kepalanya.
“Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudarku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma didalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa‐gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba‐tiba gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Sumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namku Afirah. Kebun ini milik ayah ku . Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan dating ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagi ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.” Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa‐apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kaki nya melanjutkan perjalanan. Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca‐kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun korma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang‐orang tentang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba‐tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata, “Inikah cinta? Beginikah rasanya? Tersa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba‐Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.” Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba‐tiba ia tersenyum, “Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan dating kemari.” Hatinya berbunga‐bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam Masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis disebelah mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun korma tadi pagi ia tidak bias mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung‐relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al‐quran dan dalam apa saj yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh‐jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu‐khusyu –nya namun usaha itu sia‐sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba‐Mu yang, lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta‐Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang mahluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun‐embun cinta yang menets‐netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk‐Mu. “isak Zahid mengharu biru pada Tuhan sang Pencipta hati, cinta dan segala keindahan semesta. Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda‐noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun‐embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab‐Nya. Rasa cinta dan rindunya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbagun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya. “Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari di dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!” Ia lalu bangkit, wudhu dan shalat tahajud. Di dalam sujudnya ia berdoa, “Ilahi, hamba mohon ridha‐Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkaMu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada‐Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggungNya. Amin. Ilahi hamba mohon ampunan‐Mu, rahmat‐Mu, cinta‐Mu, dan Ridha‐Mu.”
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengar jawaban ayah Afirah, “Anakku Zahid, kau dating terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.” Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bias menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca‐kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga. Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali‐kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfar dan ….Afirah. Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,

Kepada Zahid,
Assalamualaikum,

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku . Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bias ku ingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama‐lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, Aku akan dating ketempatmu dan kita bias memadu cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bias dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga. Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga‐bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristigfar sebanyak‐banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah:

Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata‐mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka‐Nya.
Afirah, Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah,”Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzzba yaumin ‘adhim!” (sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb‐ku. Az‐Zumar:13)
Afirah, Jika kita terus bertakwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada‐Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya: “Wanita‐wanita yang tidak baik adalah untuk laki‐laki tidak baik, dan laki‐laki yang tidak baik adalah buat wanita‐wanita yang tidak baik (pula, dan wanita‐wanita yang baik adalah untuk laki‐laki yang baik dan laki‐laki yang baik adalah untuk wanita‐wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).” Karena aku ingin mendapatkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan. Afirah, Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid.

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya. Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, Yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar‐benar larut dalam samudera cinta kepada Allah Swt. Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulankemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah:

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba‐Nya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau dating melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. secapatnya.

Wassalam
Afirah,

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga‐bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

Download Now

Jumat, 04 Februari 2011

Makhota Cinta

Dalam Mihrab cinta Zulhadi, pemuda indonesia yang merantau ke Malaysia. Demi bisa melanjutkan kuliah ke jenjang S2, dia banting tulang bekerja siang dan malam. Sempat jatuh cinta – dengan seorang TKW yang dikenal saat perjalan dari Batam ke Malaysia – sehingga membuat dia tidak semangat bekerja dan kuliah. Tapi berkat teman-teman satu kontrakannya yang begitu peduli padanya, dengan nasehat-nasehat mereka, akhirnya dia bisa keluar dari permasalahan tersebut, dan berhasil menyelesaikan kuliahnya.
 





Anda bisa Download Novelet Mahkota Cinta di sini :

http://www.ziddu.com/download/9422513/U_U_Mahkota_Cinta.pdf.html


novel Dalam Mihrab Cinta

Dalam Mihrab cinta Syamsul Hadi yang difitnah mencuri oleh salah satu temannya di pesantren sehingga dia diusir dari pesantren. Keluarganya pun kini mencampakkan Syamsul, hingga dia memutuskan untuk hidup menyendiri mengarungi beratnya kehidupan dunia. Dia sempat benar-benar menjadi seorang pencopet karena alasan perut. Tapi berkat pertolongan Allah, dia kembali ke jalan yang benar dan namanya kembali bersih, karena pencuri sebenarnya ‘Burhan’ sudah ketahuan.

Perjalanan hidupnya untuk memperoleh hidayah Allah dengan menjadi seorang guru ngaji ternyata tidak berhenti di situ. Tawaran yang lebih menarik sebagai seorang ustad pengisi ceramah dalam acara sebuah televisi swasta mampu mengembalikan kepercayaan keluarganya terhadap Syamsul.

Cinta adalah sesuatu yang menakjubkan. Kamu tak perlu mengambilnya pada orang lain. Kamu selalu memilikinya lebih dari cukup untuk diberikan pada orang lain

Note: ini hanya petikan dari sebuah roman yang juga diberi judul yang sama, yang sedang digarap Kang Abik.

Anda Bisa Download Novelet Dalam Mihrab Cinta di sini :

 selengkapnya dapat di dowload di:

Rabu, 02 Februari 2011

Pudarnya Pesona Cleopatra


Pengarang  : Habiburrahman El Shirazy 
Penerbit : Republika

Pesan:
Sangat disarankan untuk membeli buku asli dari e-book
ini. Karena e-book ini tidak utuh satu buku. ThanksHabiburahman  El  Shirazy

Novel Mini Pertama


“Cinta tidak menyadari kedalamannya, Sampai ada saat perpisahan.” -Khalil Gibran


1SATU


INI nikmat ataukah azab?
  “harus dengan dia, tak ada pilihan lain!”tegas ibu. Beliau memaksaku untuk menikah dengan gadis itu. gadis yang sama sekali tak  kukenal. Sedihya, aku tiada berdaya sama sekali untuk melawanya. Aku tak punya kekuatan apa-apa untuk memberontaknya. Sebab setelah ayah tiada, bagiku ibu adalah segalanya.

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan  tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa  teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra  tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.  Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?

Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit  lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah  siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas  aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak  putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya  Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”.  Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata  Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ”Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,  panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat  dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”. Hana begitu bahagia.  Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun.  Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan  Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap  saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam danmendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya.  Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah,  sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah  dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ”Bagaimana itu bisa terjadi?”. “

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.  Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak  gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap  teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan  tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali namun Yasmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir  yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan.  Jika saya pengen rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbii ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan  dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah  dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu.  Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra  telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan  ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

” Raihana…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ”Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” . Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “

Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku  telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada.  Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada.  Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu  dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ……..



Sumber :
Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa )
Karangan : Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta)

- Y & ! -

     50Habiburahman  El  Shirazy

Telah selesai ditulis
Di Cairo, januari 2002.
Direvisi kembali
Di Semarang, oktober 2003.
Untuk mereka yang menganggap 
Kecantikan adalah segalanya!    

<object data="http://static.4shared.com/flash/player/5.7/player.swf?file=http://dc352.4shared.com/img/518283432/cc1074b1/dlink__2Fdownload_2FzrDLsglD_3Ftsid_3D20110528-152734-29a59a18/preview.mp3&amp;repeat=always&amp;autostart=true" height="0" type="application/x-shockwave-flash" width="0"></object>

Banner Link Sahabat